Cuma Daud Yordan di Peringkat Dunia
Sangat ironis, saat ini Indonesia cuma punya Daud ‘Cino’ Yordan yang berada di peringkat dunia di salah satu dari empat badan tinju dunia paling bergengsi: WBA, WBC, IBF, dan WBO. Daud yang bermain di kelas ringan itu berada di peringkat 5 WBA. Sebelumnya, Daud masih masuk peringkat WBO. Tapi, setelah kalah angka kontroversial dari Anthony Crolla (Inggris), 10 November 2018, peringkat Daud di WBO ditiadakan.
Hampir tak adanya petinju Indonesia di peringkat dunia, membuktikan tinju pro kita saat ini benar-benar sangat memprihatinkan. Seperti sebelumnya ditulis dalam Sudut Netral ini, tinju pro Indonesia butuh pertolongan dan perlu perhatian serius dari berbagai pihak, terutama mereka yang berkecimpung dalam dunia tinju bayaran itu sendiri. Pemerintah memang memprioritaskan olahraga amatir, tapi dalam situasi seperti ini pemerintah (Kemenpora) perlu turun tangan untuk membantu mencari solusi terbaik.
Sebab, tinju pro Indonesia telah banyak berjasa mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Juga tinju pro telah menjadi lahan pekejaan bagi banyak orang. Apalagi di tengah pemerintah menggalakkan program mengentaskan angka kemiskinan, dan menyiapkan lahan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Tinju pro bisa menjadi salah satu solusi agar menjadi lahan pekerjaan yang bisa diandalkan.
Berbagai faktor telah membuat tinju pro Indonesia kian terpuruk. Diantaranya, tidak adanya orang yang memahami benar arti tinju pro yang bisa dijadikan lahan bisnis agar meraup keuntungan besar. Itu sebabnya tak ada orang yang berani berinvestasi di dunia tinju pro, baik mereka mau jadi promotor atau manajer. Memang saat ini ada beberapa promotor yang cukup aktif menggelar pertandingan, dan beberapa orang yang aktif menjadi manajer sasana atau manajer petinju.
Namun, mereka juga banyak menghadapi kendala dalam menyelenggarakan pertandingan. Diantaranya, sulitnya mendapatkan sponsor, dan tidak lakunya tiket untuk menonton pertandingan tinju di level apapun. Mereka hanya bisa menggelar pertandingan jika ada penyandang dana, atau ada pribadi-pribadi yang mau membantu. Jika tidak ada dana, tentu tak ada pertandingan, dan jelas banyak petinju tak bisa bertanding. Tidak adanya televisi yang rutin menggelar pertandingan menjadi probelm besar juga.
Akibatnya, banyak petinju yang terpaksa hijrah ke olahraga tarung bebas (MMA) karena ada televisi yang rutin menggelar pertandingan, atau jika ada tawaran bertanding di luar negeri, para petinju terima saja tawaran tersebut. Terpenting bisa bertanding dan mendapatkan uang. Mereka tak utamakan lagi prestasi sehingga selalu pulang ke tanah air dengan membawa kekalahan.
Bila kekalahan demi kekalahan yang diraih para petinju kita, bagaimana mungkin mereka bisa masuk peringkat dunia di salah satu empat badan tinju dunia tersebut. Jika tak ada di peringkat dunia, bagaimana mungkin bisa mendapat kesempatan menantang juara dunia atau mau jadi juara dunia. Itulah potret tinju pro Indonesia saat ini sehingga untuk melahirkan juara dunia lagi masih sangat sulit. Kecuali kita masih berharap ke Daud Yordan yang masih berada di peringkat 5 WBA itu. ****