Kejurnas Elite Lampung & Kontroversi
Kejuaraan nasional (Kejurnas) tinju amatir Elite Men’s & Women’s (19-40 tahun), bukan sekadar agenda PP Pertina (Persatuan Tinju Amatir Indonesia) yang mesti diikuti seluruh Pengprov PERTINA se-Indonesia (34 Pengrov). Tapi, lebih dari itu para petinju beradu gengsi membela daerah masing-masing untuk jadi yang terbaik.
Maka, tak sedikit biaya yang telah digelontorkan Pengprov-pengprov Pertina kepada petinju dan pelatihnya agar meraih prestasi terbaik di event tersebut. Dan, itu dalam waktu yang cukup yang panjang, kecuali ada Pengprov mau enaknya saja beli petinju sudah jadi. Biasanya, Pengprov seperti ini tak punya pembinaan baik di daerahnya.
Kejurnas Elite Men’s & Women’s di Bandar Lampung, Lampung, 5-11 Desember 2018, masih menimbulkan beberapa persoalan. Diantaranya, ring yang tak layak digunakan, pengulangan drawing yang terjadi di kelas 75 kg, banyaknya keputusan kontroversial sejak babak penyisihan sampai final, adanya petinju berusia 15, 16, dan 17 tahun yang mengikuti Kejurnas Elite, adanya pelatih tidak bersertifikat nasional membawa petinju ke atas ring, dan adanya partai eksebisi di Kejurnas Elite.
Yang jadi sorotan paling tajam soal banyaknya keputusan kontroversial. Itu sangat mencederai nilai-nilai sportifitas, dan melukai para petinju dan pembina di daerah-daerah. Semestinya wasit/hakim yang bertugas dan mengikuti ujian bintang satu AIBA dalam Kejurnas itu, dan diawasi langsung dua orang perwakilan AIBA tak melakukan hal itu. Maka, tak heran, ada yang mempertanyakan kualitas dan mentalitas wasit/hakim yang mengikuti ujian tersebut.
Dampak lebih jauh dari penilaian tak sportif itu, bisa menimbulkan luka lebih dalam bagi petinju sehingga mereka kecewa dengan tinju dan bisa beralih ke cabang olahraga tarung bebas yang mungkin dianggap lebih baik. Apalagi tarung bebas sedang berkibar karena terus ditayangkan tvOne dan SCTV. Tak bisa dipungkiri banyak petarung berlatar belakang petinju amatir dan profesional.
Kejurnas Elite, Junior, Youth, Sarung Tinju Emas (STE), bahkan berbagai open tournament kerap dilaksanakan saban tahun. Mestinya belajar dari berbagai event itu, keputusan-keputusan kontroversial tak perlu terjadi dan tak ada lagi berbagai persoalan. Pola-pola lama harus ditinggalkan dan mengikuti perkembangan terkini AIBA. Mekanisme pengawasan dan kontrol pun harus berjalan dan ditingkatkan. Kualitas dan mentalitas wasit/hakim Indonesia telah ditingkatkan, dan sudah banyak wasit/hakim AIBA berbintang satu, dua, dan tiga.
Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2020 tak lama lagi. Tahun depan, pra-PON sudah dimulai dalam tiga wilayah: Barat, Tengah, dan Timur. Belajar dari Kejurnas Elite Lampung dan sebentar lagi memasuki tahun baru, tinggalkan yang tak baik bagi pembinaan prestasi dan perkembangan tinju amatir Indonesia. Kita harus menatap masa depan lebih baik demi daerah masing-masing, dan berkibarnya Merah Putih. Dan, semua itu bergantung pada organisasi, terutama wasit/hakim yang menjadi penentu terakhir bagi prestasi anak daerah dan anak bangsa. ****