Rina Diastari Dinata saat mengikuti Kejurda Sumut. Foto: ist
Hikmah dari Kematian Petinju Wanita Rina Diastari Dinata!
Tinjuindonesia.com — Mengejutkan petinju wanita Rina Diastari Dinata, 21 tahun, meninggal dunia usai bertanding. Rina yang membawa bendera PERTINA (Persatuan Tinju Amatir Indonesia) Langkat mengikuti Kejurda Sumut (Kejuaraan Daerah Sumatera Utara) yang juga ajang seleksi untuk menghadapi PON 2024 di Sumatera Utara dan Aceh. Kejurda dan seleksi tersebut berlangsung di Medan, Sumut, 13-16 Agustus 2021.
Rina yang berlatar belakang karateka itu tampil di kelas bantam (54 kg). Di final, Rina berhadapan dengan Tiara dari Medan. Pertandingan dihentikan di ronde kedua karena wasit menilai kondisi Rina tak mampu untuk melanjutkan pertandingan. Kemudian, ia dibawa ke RSUP Adam Malik, Medan, untuk dirawat dan ternyata mengalami pendarahan di otak sehingga harus menjalani operasi, Sabtu (21/8).
Pasca operasi, kondisi Rina bukannya membaik, justru menurun dan akhirnya mengembuskan nafas terakhir, Rabu (25/8). Kematian ini mengejutkan karena sejak tinju wanita untuk pertama kalinya di pertandingkan di Kejuaraan Dunia AIBA (Asosiasi Tinju Amatir Internasional) di Pennsylvania, AS, 2001, dan untuk pertama kalinya tinju wanita dipertandingkan di Olimpiade London 2012, baru kali ini petinju wanita meninggal dunia usai bertanding. Dan, ini hanya terjadi di Indonesia.
Ini harus menjadi perhatian serius seluruh insan tinju Indonesia, khususnya insan PERTINA. Lantas, timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan Rina sampai mengalami pendarahan di otak dan akhirnya meninggal dunia? Apakah prosedur kesehatan dan keselamatan petinju sudah dilakukan dengan baik atau tidak? Bagaimana kondisi kesehatan, fisik, teknik (kemampuan bertinju) petinju itu selama latihan dan saat akan bertanding, apakah semuanya prima atau tidak.
Lantas, bagaimana peran wasit (saat memimpin pertandingan), technical delegate (TD), dan dokter selama pertandingan itu berlangsung? Dan, bagaimana penanganan petinju yang mengalami cedera serius seperti Rina setelah bertanding, dan di mana rumah sakit rujukannya? Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh biaya perawatan petinju selama dirawat di rumah sakit?
Cukup mengherankan, ketika berita yang beredar ada penggalangan dana untuk perawatan Rina yang koma di rumah sakit. Itu semestinya tidak terjadi bila panitia penyelenggara bertanggung jawab terhadap perawatan petinju yang mengalami cedera ringan maupun cedera berat saat bertanding.
Misalnya, dengan mengasuransikan semua petinju yang bertanding melalui asuransi BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran awal Rp 100.000 (kalau tidak salah) yang dibayarkan oleh panitia penyelenggara/promotor di tinju pro, lalu iuran per-bulan Rp 95.300 (dibayar rutin petinju itu sendiri setelah bayar iuran awal). Jaminannya sangat jelas bahwa Biaya Pengobatannya Tanpa Batas sampai sembuh di RS Pemerintah Kelas I (sesuai indikasi medis dokter), Santunan meninggal dunia akibat kecelakaan/musibah kerja sebesar Rp 163.600.000, Santunan meninggal dunia Bukan akibat kecelakaan kerja sebesar Rp 42.000.000, dan sudah termasuk tabungan Rp 59.000 per-bulan.
Kematian Rina menjadi pelajaran berharga bagi seluruh komunitas tinju Indonesia, khususnya PERTINA, dan segera mengevaluasi prosedur kesehatan dan keselamatan petinju agar ke depan tidak terjadi lagi. Kesehatan dan Keselamatan Petinju adalah Nomor Satu. Apalagi tinju amatir sangat ketat menjaga Kesehatan dan Keselamatan Petinju. Jangan sampai mengabaikannya!
(TI/Martinez)